Kemarin (6/12) kita ketahui sebuah pemberitaan di media, terjadi tawuran antarpelajar di Jakarta Timur, pelakunya adalah pelajar berseragam abu-abu dan apa sebenarnya yang mengakibatkan tawuran antarpelajar tersebut? bisa jadi, karena hal-hal sepele seperti saling ejek, rebutan pacar, saling lihat-lihatan, yang akhirnya menimbulkan dendam sehingga terjadi berulang-ulang.
Selain itu kekerasan pada anak bisa juga terjadi
karena masa lalu dalam keluarga dan lingkungannya yang mempengaruhi. Komite
Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mengatakan tawuran antar pelajar berakar
dari kekerasan keluarga yang di pelajari anakdan di praktekannya kembali pada
unit sosial yang besar.
“Tawuran
berasal dari daur ulang apa yang dilihat siswa pada keluarganya. Keluarga
memiliki kontribusi yang besar membangun dan menciptakan kekerasan kalau hal
itu yang dirasakan anak,” katanya.
Menurutnya, anak yang mengalami kekerasan di rumah
akan membangun kelompok di sekolah untuk melakukan kekerasan lagi dengan
kelompok dari sekolah lain.
Ia mengatakan jika dari keluarga, masyarakat dan
sekolah masih menunjukan kekerasan, tentu siswa masih akan mencontoh kekerasan
tersebut dan tawuran antar pelajar masih akan terjadi.
Untuk itu katanya, keluarga harus menjadi lingkungan
ramah anak dengan merubah paradigma mendidik dari otoriter menjadi dialogis dan
partisipatif untuk anak.
“Keluarga, katanya, harus dapat menjadi garda terdepan
untuk melakukan perlindungan pada anak.
Ia menambahkan, selain keluarga, masyarakat juga harus
tanggap mengingatkan dan melaporkan agar tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Selain itu masyarakat juga tidak boleh acuh saat menemukan tawuran antarpelajar
terjadi di lingkungan sekitar mereka dan melaporkannya pada pihak yang berwajib
agar dilakukan tindakan pencegahan atau penangkapan bila terjadi.
Selanjutnya, sekolah juga harus menjadi tempat yang
aman bagi anak dengan mengedepankan parttisipasi siswa karena sekolah adalah
tempat keseharian mereka.
Sekolah juga harus menjadi tempat membangun moral dan
aktualisasi diri anak sehingga ia menyarankan kurikulum pendidikan di sekolah
harus mampu menjadi sarana aktualisasi diri para remaja sehingga energi yang
tersimpan dapat berkembang ke arah positif.
“Kurikulum harus diubah ke arah yang mengajak para
pelajar untuk berpartisipasi, dengan begitu angka kenakalan remaja dapat
ditekan. Kurikulum kita saat ini tidak aman dan ramah bagi anak-anak,” Katanya.
Menurutnya, segala sesuatu yang dimiliki oleh remaja
senantiasa harus disalurkan dan diarahkan. Dan untuk mengarahkan ke arah yang
positif, diperlukan kesungguhan usaha dari keluarga, masyarakat dan sekolah. (Berbagai Sumber)
0 komentar:
Posting Komentar